Novel The Old Man And The Sea ini merupakan sebuah karya dari seseorang yang sebelum aktif menulis, pernah ikut bertempur di Perang Dunia ke-2 dan juga sempat menjadi reporter saat perang saudara di Spanyol. Ia juga menceritakan pengalaman perangnya di novel A Farewell to Arms pada tahun 1929. Seseorang itu bernama Ernest Miller Hemingway. Ernest Hemingway merupakan seseorang penulis dan juga jurnalis yang berasal dari Illinois, Amerika Serikat. Novel The Old Man And The Sea karya Ernest Hemingway ini berhasil meraih Pulitzer Awards pada tahun 1952.
Novel ini bercerita tentang seorang lelaki tua yang sudah berpengalaman
menjadi nelayan yang bernama Santiago. Santiago telah menghabiskan waktu selama
delapan puluh empat hari di laut tanpa mendapatkan seekor ikan pun. Dalam empat
puluh hari pertamanya Santiago ditemani dan dibantu oleh seorang bocah lelaki.
Namun, dikarenakan setelah berlayar menghabiskan waktu selama empat puluh hari
tanpa mendapatkan seekor ikan pun, orang tua bocah lelaki yang ikut menemani
dan membantu Santiago, diperintahkan orang tuanya untuk ikut membantu ke
nelayan yang lainnya dengan alasan bahwasannya Santiago merupakan seorang salao atau bentuk terburuk dari
ketidakberuntungan. Si bocah lelaki itu pun mematuhi permintaan yang orang
tuanya minta.
Setelah bocah lelaki itu memperoleh sedikit uang dari hasil membantu nelayan yang lainnya, bocah lelaki itu ingin pergi melaut kembali bersama Santiago dengan alasan bocah lelaki itu sudah mempunyai sedikit uang dari hasil membantu nelayan yang lainnya dan si bocah lelaki ini senang karena sudah diajari cara menangkap ikan oleh Santiago. Tetapi, Santiago menolak dan berkata bahwa bocah lelaki ini lebih baik pergi melaut bersama nelayan yang beruntung. Selang beberapa hari kemudian, Santiago mulai mendayung keluar pelabuhan di malam hari. Ada beberapa perahu lain dari pantai lain yang juga melaut pada malam hari itu. Mereka terpencar setelah beranjak keluar dari pelabuhan dan masing-masing menuju samudra dengan harapan mendapatkan ikan di sana. Ditengah gelap Santiago dapat merasakan angin yang membawa datangnya pagi dan selagi mendayung ia mendengar bunyi bergetar dari ikan terbang yang meninggalkan air. Ia sangat menyukai ikan terbang karena ikan terbang merupakan teman utama ketika di samudra.
Matahari
terbit samar-samar dari laut. Santiago dapat melihat perahu-perahu lain yang
bergerak sangat rendah. Matahari kini lebih terang dan silaunya menerpa air.
Santiago menajaga kail-kailnya lebih tegak dari nelayan yang lainnya. Ketika matahari
sudah mulai jauh lebih tinggi, Santiago bisa melihat ke arah timur. Di sana
hanya ada tiga perahu yang nampak sekarang dan tiga perahu itu terlihat sangat
rendah dan jauh ke dekat pantai. Dari tempat di mana ia mengayun ringan
berlawanan dengan dayungnya ia melihat ke bawah ke dalam air dan melihat
ikan-ikan kecil yang berwarna seperti serabut halus. Ikan-ikan kecil itu
berenang di antaranya dan di bawah
naungan yang terbentuk oleh gelembung itu saat ia menghanyut. Betapa senangnya
si lelaki tua ketika melihat penyu laut besar memakan ikan-ikan tersebut. Ia
menyukai penyu hijau dan penyu sisik karena keanggunan serta kecepatan mereka.
Nilai jual penyu tersebut juga sangat tinggi, meskipun, Santiago memiliki rasa
jijik dengan penyu besar tersebut.
Kemudian saat mengawasi tali kailnya, ia melihat salah satu batang hijau
yang mencuat tercelup dengan tajam. Santiago meraih tali kail itu dan
menahannya dengan lembut di antara jempol dan jari telunjuk tangan kanannya.
Ada di tengah samudra yang jauh dari daratan ini, Santiago berharap ikan yang cukup
besar dan dekat dengan umpannya tersebut, segera memakan umpannya. Ia menunggu
dengan kail yang berada di antara jempol dan jarinya, mengamatinya. Lalu datang
tarikan lembut yang sama seperti tadi. Santiago kemudian merasakan sesuatu yang
kuat dan tak terbayangkan olehnya. Santiago menyangka bahwa itu merupakan berat
ikan yang memakan umpannya dan ia membiarkan tali kailnya tergelincir turun ke
dalam air laut. Sementara tali kailnya semakin turun, Santiago masih dapat
merasakan beban beratnya, meskipun ibu jari dan telunjuknya hampir tak terasa.
Ia tahu betapa besar ikan ini dan ia membayangkan ikan itu pergi menjauh di
kegelapan bersama tuna yang ditahan melintang di mulutnya. Namun, ketika
Santiago berusaha menarik dengan kuat-kuat dengan kedua tangannya, mengayunkan
masing-masing tangan bergantian pada tali dengan semua kekuatan tangannya dan
menumpukkan berat badannya. Tak terjadi apa pun. Ikan itu hanya bergerak
menjauh dengan perlahan dan si lelaki tua itu tak mampu membuatnya naik satu
inci pun. Santiago berpikir, mungkin jika ada bocah lelaki itu, bocah lelaki
itu dapat membantu Santiago untuk mendapatkan ikan besar tersebut.
Keesokan harinya, saat matahari terbit lebih tinggi, si lelaki tua
menyadari bahwa ikan itu belum juga kelelahan. Kemiringan kail itu menunjukkan
bahwa ikan itu berenang tak sedalam sebelumnya. Santiago berteriak ditengah
lautan yang jauh dari daratan bahwa ikan merupakan binatang yang aneh karena
ikan tidak memiliki rasa lelah. Setelah beberapa hari dilaut ditemani dengan ikan
terbang dan gagal mendapatkan ikan. Pada siang hari keesokan harinya, Santiago
mulai berkeringat tetapi bukan karena teriknya matahari. Pada setiap putaran tenang yang dilakukan si
ikan, ia selalu menarik kailnya. Santiago sangat yakin bahwa ia akan mendapatkan
kesempatan untuk menancapkan harpun ke tubuh ikan tersebut. Tapi saat Santiago
mengerahkan seluruh usahanya, memulainya dengan baik sebelum ikan itu bergerak
ke sisi sampan dan menarik dengan seluruh kekuatannya, ikan itu malah mendorong
sedikit ke luar jalur dan membetulkan posisi dirinya, lalu berenang menjauh. Lagi-lagi
Santiago gagal mendapatkan ikan dan Santiago merasa disiksa oleh ikan yang
tidak bisa ditebak arahnya. Santiago menahan rasa sakit pada tangan kirinya dan
membandingkan dengan kesulitan yang dialami si ikan dan ikan itu datang ke
sisinya dan berenang lembut di sampingnya, moncongnya hampir menyentuh papan
sampan dan mulai menyalip perahu itu, panjang, dalam, lebar, keperakan dan
berbelang ungu dan tak berkesudahan di dalam air.
Si lelaki tua itu menjatuhkan tali kailnya dan menginjaknya. Ia lalu
mengangkat harpun setinggi yang ia bisa dan menghujamkannya dengan seluruh
tenaga yang ia miliki. Ia merasakan besi itu menghujam masuk ke seluruh tubuh
si ikan. Ikan itu meronta-ronta, merasa sangat kesakitan. Si lelaki tua merasa
melayang, perutnya mual dan pandangannya kabur. Gagang harpun mencuat menyudut
dari bahu ikan dan laut berubah warna oleh merahnya darah dari jantung ikan.
Kemudian darah itu menyebar dengan cepat. Ikan itu masih terapung bersama
ombak. Saat posisinya sudah sejajar dengan ikan itu, ia menempelkan kepalanya
ke haluan. Santiago sungguh takjub melihat besarnya ukuran ikan itu. Santiago
memperkirakan berat ikan yang ia dapat itu lebih dari seri lima ratus pound.
Bisa jadi lebih berat lagi. Ukuran ikan itu teramat besar, hingga ia merasa
seolah sedang menambatkan sampan di bagian samping. Perahu mulai bergerak dan
dengan setengah berbaring di buritan, ia berlayar menuju arah barat daya.
Mereka berlayar dengan lancar. Si lelaki tua merendam tangannya di air
garam dan mencoba kepalanya untuk tetap jernih. Di sana terdapat awan cumulus tinggi,
jadi si lelaki tua itu tahu bahwa angin ini akan terus berembus sepanjang malam. Ia memandangi ikannya untuk memastikan bahwa hal itu benar. Sejam kemudian, ada
seekor ikan hiu yang menabrak perahunya. Tabrakan ikan hiu itu bukanlah sebuah
kecelakaan. Ia naik jauh dari kedalaman air sana karena mencium bau darah yang
telah menyebar ke laut sedalam satu mil itu. Ikan hiu sangat besar, tubuhnya
dirancang untuk berenang cepat di laut dan semua tentangnya indah kecuali
bentuk rahangnya. Saat si lelaki tua melihatnya datang, ia sadar bahwa ini
adalah hiu yang tak punya rasa takut sama sekali. Si lelaki tua itu menyiapkan
harpun dan membuat talinya terpancang sementara mengamati hiu itu datang.
Kepala lelaki tua itu jernih dan baik sekarang. Hiu itu mendekat dengan cepat
menuju buritan, ketika hiu itu menabrak ikan marlin, si lelaki tua melihat mulut hiu
itu terbuka. Si lelaki tua itu dapat mendengar bunyi kulit dan sobekan daging
ikan besar itu saat ia melesakkan harpun
masuk ke kepala si hiu di antara kedua matanya. Santiago mengira berat ikan hiu
itu sekitar empat puluh pound. Ketika ikan marlin yang didapatkannya tergigit,
ia merasa seolah-olah dirinyalah yang tergigit.
Ia tidak ingin melihat ikan marlinnya. Ia tahu bahwa separo dagingnya
telah lenyap dan habis dimakan hiu . Matahari telah turun selama ia bergelut
dengan hiu. Ia merasa tak dapat berbicara pada ikan itu lagi karena ikan itu
telah rusak terlalu parah. Di malam hari hiu-hiu menyerang kerangka ikan
layaknya seseorang memunguti remahan dari meja. Lelaki tua tak menghiraukan
mereka dan tak memerhatikan hal lain kecuali menyetir perahunya. Ia hanya menyadari
betapa ringannya dan baiknya sampan itu berlayar setelah tak ada lagi beban
yang sangat berat di sampingnya. Ia tahu di mana ia sekarang dan bukanlah hal
sulit baginya untuk pulang. Saat ia berlayar menuju pelabuhan kecil, cahaya
dari Teras telah mati. Semua orang sudah tidur dan angin telah muncul dengan
kencang dan teratur. Ia mulai memanjat pelabuhan dan sampai di atas ia jatuh
dan rebah untuk beberapa waktu dengan tiang sampan melintang di bahunya. Ia
mencoba untuk bangun tapi hal itu terlalu sulit dan ia duduk di sana dengan
tiang di bahunya dan menatap ke jalan. Ia harus duduk lima kali sebelum
mencapai ke gubuknya. Di dalam gubuk ia menyandarkan tiang itu ke dinding dan
di dalam kegelapan ia menemukan sebotol air dan meminumnya. Lalu ia berbaring
dan di tempat tidur ia menarik selimut hingga ke bahunya dan ia tidur
tengkurap menindih koran dengan tangannya terjulur dan telapak tangannya
menengadah.
Si bocah lelaki itu tidur larut selamam dan kemudian datang ke gubuk Santiago sebagaimana bocah lelaki itu datang setiap pagi. Si bocah lelaki itu melihat Santiago masih bernapas dan saat melihat tangan Santiago, ia mulai menangis. Si bocah lelaki ini pergi ke Teras dan memesan sekaleng kopi. Bocah lelaki itu membawa kaleng kopi panas hingga ke gubuk lelaki tua dan duduk di sebelahnya hingga ia terbangun. Dan bocah lelaki itu menuangkan sebagian kopi itu ke dalam gelas. Si lelaki tua mengambilnya, lalu meminumnya. Di dalam gubuknya, si lelaki tua tertidur lagi. Ia masih tertidur telungkup dan si bocah lelaki duduk di sampingnya mengamatinya tidur. Lelaki tua itu tidur sangat nyenyak. Ia bermimpi tentang singa di Afrika.
Demikian ringkasan Novel The Old Man And The Sea karya Ernest Miller Hemingway ini. Semoga bermanfaat dan terima kasih telah menyempatkan waktunya untuk membaca.